Selasa, 09 Juni 2009

Berawal dari sebuah sapaan. (waddah_mahabbah@yahoo.co.id)

"Ga usah" jawaban bersahabat dari seorang kernet bis kota kampus itu terus terang menghadirkan tanda tanya dalam hatiku "kenapa dia tidak mau menerima ongkos itu ?". Turun di terminal,sobatku yang talkactive itu memulai aksi yang baru,menghampiri gerobak pedagang air tebu. Bapak itu buru-buru menyodorkan segelas air tebu es kepadanya, padahal dia belum meminta. Rupanya si bapak sudah melihat kedatangannya dari jauh. Bukan hari ini saja, seakan-akan setiap hari selalu ada orang baik untuknya.

Kemaren, ketika dia asyik berceloteh dengan teman-teman sewaktu jamistirahat, seorang ibu yang biasa mengusung dagangannya dari blok keblok kelas kuliah memanggilnya. Dengan gembira dia kembali, "nih satubuat kamu"sambil membawa dua bungkus tahu isi, "dikasih si Ibu" lanjutnya sambil tersenyum kepada si Ibu yang juga tersenyum dengan bahagia. Belum lagi, minggu yang lalu dia sukses memindahkan sepiring sate dosen ke tangannya. Aku berusaha sekuat tenaga menyibak kekuatan yang

dimilikinya. Sobatku itu seorang yang sederhana, tidak kaya, tidak cantik, tidak terlalu berprestasi. Hanya satu kelebihannya yang tidak dimiliki orang lain. Ya..aku mulai menyadari. Kelebihan itu juga tidak ada padaku.

Dia sangat hobby menyapa orang lain yang berlanjut dengan obrolan. Anehnya, dia tidak pernah kehabisan bahan. Dari terminal sampai

Kampus, sang kernet seakan mendapat tambahan semangat ketika dia ajak ngobrol. Begitu juga wajah pedagang tebu ketika dia bertanya tentang keadaan isteri dan anak-anaknya. Aha ! aku juga baru tahu kenapa si ibu rela memberikan tahu cuma-cuma untuknya. Karena sifatnya yang ramah, dia tidak saja punya teman sesame fakultas,tapi juga dari fakultas lainnya. Merekalah yang "dipaksa"nyauntuk membeli dagangan si ibu.

Masih dengan rasa penasaran, kucoba bertanya kepada kernek bis yang selalu memberi gratisan kepadanya "ga rugi tuh ?". Sungguh terperanjat aku mendengar jawaban knek itu "Wah, ga sebanding mba dengan jajan yang selalu diberinya untukku". Aku tidak mencoba bertanya lebih jauh kepada pedagang air tebu, karena aku sudah menemukan jawabannya. Seperti kata seorang guru "Orang mendapatkan bukan dari apa yang dimintanya tapi dari apa yang diberikannya." Yah,sobatku melakukannya dengan tulus dan suka cita. Keramahtamahan dan kemuliaan budinya langsung dibalas Allah lewat kasih sayang hamba-hamba-Nya yang lain. Semuanya berawal dari sebuah sapaan. )***

Sumber: ManajemenQolbu.Com

Sabtu, 02 Mei 2009

Hanya Pendapat

*Versi Buku Berpengaruh Agus Mustofa
Judul Vs Isi, Selaraskah?
By: Mawaddah Idris

“Hambar, jika harus melewati hidup tanpa menyantap nikmatnya hidangan tulisan yang telah disuguhkan dalam sebuah buku”, itulah kalimat yang teramat sering dilontarkan oleh seorang akademisi. Keinginan tuk meresapi pengetahuan yang tersurat dalam sebuah buku merupakan hal yang wajar, untuk mengkaji lebih dalam apa yang masih tumbuh dalam benak keraguan. Konon lagi, jika yang dipaparkan adalah hal yang ada di sekitar kita dan belum terpecahkan.
Berangkat dari sebuah pernyataan “don’t judge the book by its cover!” kalau dianalogikan dengan istilah mafhum mukhalafah, ini berarti nilailah sebuah buku dari isi yang dipaparkan di dalamnya. Memang, istilah ini biasanya digunakan untuk menegaskan bahwa jangan menilai sesuatu dari luarnya saja, selami hingga dalam dan akhirnya ditemukan esensinya. Namun dalam coretan sederhana ini, pernyataan itu digunakan dalam makna lughowi.
Kali ini, Buku-buku Agus Mustofa masih menjadi perbincangan yang hangat untuk diangkat, baik itu di kalangan umum, maupun civitas akademika. Kontroversialnya judul yang beliau angkat, memancing terjadinya polemik dalam penulisan, dan menimbulkan ketidakselarasan pendapat diantara para pembaca. Walaupun tak sedikit yang mendukung dan mengakui ketajaman analisis beliau, namun tak jarang pula beliau dicap telah melahirkan hal-hal baru yang belum ada buktinya.
Sebelum beranjak menelusuri polemik apa yang selama ini telah terjadi, perlu diketahui bahwa Agus Mustofa telah menerbitkan begitu banyak buku dengan gaya bahasa yang khas dan lebih imajinatif, bukunya itu terjual dengan yang terendah 300 eksemplar sampai yang terbanyak 55.000 eksemplar lebih. Angka pasar yang cukup tinggi.
Diantara buku beliau adalah Membongkar Tiga Rahasia, Beragama Dengan Akal Sehat, Memahami Al Qur'an Dengan Metode Puzzle, Metamorfosis SANG NABI, Melawan Kematian, Bersyahadat Di Dalam Rahim, Adam Tak Diusir Dari Surga, Ternyata Adam Dilahirkan, Poligami Yuuk!,Tak Ada Azab Kubur?, Menuai Bencana, Membonsai Islam, Dzikir Tauhid (+VCD Aura), Tahajud Siang Hari Dhuhur Malam Hari, Mengubah Takdir, Bersatu Dengan Allah, Menyelam Ke Samudera Jiwa & Ruh, Untuk Apa Berpuasa, Terpesona Di Sidratul Muntaha, Ternyata Akhirat Tidak Kekal dan Pusaran Energi Ka'bah.
“Ternyata Akhirat Tidak Kekal” adalah judul buku ke-2 beliau. Salah satu dari sekian banyak buku yang mengundang kontroversi. Kata “Ternyata” yang digunakannya, seolah menggambarkan bahwa beliau telah menyaksikan langsung atau setidaknya telah melakukan sebuah penelitian yang konkret tentang akhirat, sehingga memperoleh kesimpulan yang Valid dari pembahasan dalam buku itu. Selain itu, tidak ada tanda-tanda bahwa ini hanyalah sebuah hipotesa sementara. Namun, malah final.
Sejauh ini, banyak pendapat yang terlontar tentang Agus Mustofa, ada yang menyoroti sosoknya, dan ada pula yang mengomentari bukunya. Komentar itu tak jarang disampaikan oleh orang-orang ternama dan tak kalah sedikit hal ini dikritisi oleh masyarakat umum. Baik itu positif, maupun negatif.
Arif Afandi, selaku Pemimpin Redaksi Jawa Pos, memaparkan komentar positifnya, bahwa “Agus Mustofa tergolong sedikit orang yang konsisten mencari keselarasan dalil naqli (ketentuan yang datang dari Allah) dan dalil aqli (rasionalitas) dalam islam. Ia cukup berani memasuki wilayah ini. Buku ini merupakan salah satu wujud dari konsistensi tersebut”.
Didukung lagi oleh pernyataan “Banyak hal yang menarik yang penulis kemukakan dalam buku ini, mulai dari konsep ghaib yang relatif, penciptaan manusia pertama, tentang surga berada, hingga kesimpulannya yang kontroversial mengenai tidak kekalnya akhirat.” Oleh Gus Mus, seorang Budayawan di Rembang.
Tudingan negatif juga tak jarang menghiasi perjalanan buku ini, komentar yang bersifat maya, oleh para komunitas blogger sungguh menarik perhatian untuk didiskusikan, diantaranya Baskoro Adi Prayitno, “saya pribadi menganggap bahwa agama itu ‘malah’ tidak harus ilmiah, agama itu harus melampaui kebenaran ilmiah, kalau agama yang benar adalah agama yang ilmiah apa bedanya dengan sains?. Anggapan saya ini, mungkin menjadi agak bertolak belakang dengan tulisan-tulisan cak Agus Mustofa dan petuah Bapak Khotib Jumat saya tadi (tapi bukan berarti saya tidak lagi membaca buku beliau, saya tetap suka membaca buku-buku beliau), untuk mengklaim bahwa anggapan saya yang paling benar saya tidak berani, karena dasar yang saya gunakan adalah pengkajian secara filsafati (filosofis)”.
Selain itu, mengutip kalimat Prof Jujun dan Prof. Tafsir ”metode sains (ilmu) tidak dirancang untuk mencari kebenaran di luar rasional dan empirik”. Jadi kesimpulannya kita harus hati-hati ketika mencoba mengilmiahkan ayat-ayat suci. Ayat-ayat suci itu tetap benar tanpa harus diilmiahkan sekalipun.
Kembali pada nash, Biasanya untuk menegaskan kekekalan akhirat dalam konteks surga dan neraka, Allah mengiringinya dengan kata abadi. Namun, di dalam ayat ini Allah mengganti kata abadi dengan kata selama ada langit dan bumi. Kalimat “selama ada langit dan bumi” sama artinya dengan “abadi selama-lamanya” . Mengapa dalam ayat ini kata abadi yang biasa dipakai mengiringi kata kekal diganti dengan “selama ada langit dan bumi”. Hal ini untuk menerangkan bahwa keabadian yang merupakan konsep waktu tergantung dari keberadaan langit dan bumi (alam semesta).
Ditambahkan lagi, keterangan ini sejalan dengan kesimpulan yang diajukan oleh para ilmuan seperti Prof. Stephen Hawking dalam bukunya yang terkenal The Brief of Story. Stephen Hawking yang memperoleh hadiah nobel karena penemuannya itu mengatakan, “sebelum terjadinya alam semesta tidak ada konsep ruang dan waktu. Waktu tercipta setelah terciptanya alam semesta (langit dan bumi). Jika alam semesta lenyap tidak ada lagi yang namanya konsep ruang dan waktu”. 1400 tahun sebelumnya Al-Qur’an telah mengatakan bahwa kekekalan yang merupakan konsep waktu tergantung dari keberadaan langit dan bumi (alam semesta).
Pada http://en.wordpress.com/tag/tdk-spesifik-manhaj/ juga disebutkan bahwa “Sdr. Agus masih kurang memahami konsep kekekalan Allah dan akhirat. Dia masih membenturkan konsep kekekalan Akhirat dengan dengan kekekalan Allah sebagai dua konsep yang bertentangan. Padahal sebenarnya konsep kekekalan tidak bisa dilihat selinear itu. Kekekalan Akhirat adalah bergantung pada Allah. Sehingga sangatlah tidak pas kalau Sdr. Agus menabrakkan kekekalan Akhirat dengan kekekalan Allah sehingga seolah-olah jika Allah Kekal maka Akhirat harus tidak kekal, dan jika ada orang yang menganggap Akhirat kekal berarti orang itu menyekutukan sifat yang merupakan kekhususan Allah”.
Inilah Polemik judul Vs Isi sebagai problematika yang acap kali terjadi dalam dunia jurnalistik, judul yang terkesan unik dan menarik di sebagian orang, bisa saja dikatakan hiperbola di kalangan yang lain, jika isi yang disampaikan kurang relevan dengan judulnya, Karena setiap orang memiliki pembendaharaan kata dan penghayatan bahasa yang berbeda.
Tak bisa dipungkiri, kesatuan bahasa yang dipakai akan sangat mempengaruhi pasar dan menjadi daya tarik tersendiri, sehingga layak jual dan publikasi. Namun, jangan pernah lepaskan, bahwa apapun yang ada di dunia ini, selalu diciptakan berpasangan, ada yang menyukai atau malah menjadikannya idola dan tentulah pula, ada yang menolak dan enggan menolehnya.
Keselarasan isi dengan judul menjadi tolok ukur kesuksesan penulis dalam menjabarkan apa yang sedang dipikirkannya. Jika isi yang dikemukakan itu berindikasi agama, arahkan ke sisi agama yang benar dan jika itu sains, kemukakan dengan teori sains yang paling valid saat itu.
Kita semua bisa berbeda dan bebas berpendapat, karena dari pendapat-pendapat itulah akan muncul pendapat-pendapat baru yang akan mengomentari secara positif ataupun negatif pendapat-pendapat sebelumnya.

Senin, 09 Maret 2009

Al-Qur'an Menanggapi !!!

Nilai Toleransi Qur’ani

Oleh : Mawaddah Idris[*]

Assalamu’alaikum ya ikhwani wa akhwati fillah !

Salam sejahtera untuk umat manusia seluruh alam. Syukur pada Allah atas segala karunia-Nya dan Shalawat serta salam pada junjungan alam, Muhammad saw yang telah dianugerahi risalah kenabian sebagai tanda Kebesaran-Nya.

Selembar kertas berisi ulasan singkat ini diangkat mengingat bahasan toleransi memiliki nilai urgensitas yang tinggi dalam mewujudkan kerukunan umat, baik intern, maupun ekstern. Karena tak bisa dipungkiri, tuntutan zaman mengajak kita untuk berpikir lebih cemerlang dan fleksibel dalam menanggapi fenomena yang terjadi akhi-akhir ini. mengatakan bahwa dalam bertoleransi setidaknya ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu :

Pertama, mengakui perbedaan dan keberagaman. Dalam hal ini, keberagaman tidak hanya dalam ranah antar-agama, namun dalam intra-agama pun terdapat keragaman dan perbedaan yang tak kalah kayanya. Dalam islam telah terbentuk berbagai macam aliran, mazhab dan gerakan yang telah memperkaya khazanah islam. Perbedaan adalah sunnatullah yang tak harus diperdebatkan, namun diambil sisi baik yang terkandung didalamnya sebagai pilar pemersatu umat.

Kedua, mencari titik temu. Langkah ini merupakan langkah lanjutan yang harus tertanam dalam jiwa umat muslim, biarlah umat agama lain memiliki syari’at yang berbeda, namun fondasi keberimanan adalah sama. Lakum diinukum waliyadiin.

Adapun cara paling aman dalam menanggapi hal ini adalah, berpegang teguh pada al-Qur’an sebagai kitab yang menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia, yang mengantarkan manusia ke jalan kebaikan dan takwa. Begitu pula dengan Sunnah, adalah penjelas hukum-hukum dan segala hal ihwal yang terdapat dalam kitabullah. Sikap toleransi yang dicontohkan Al-Qur’an, Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesunggunya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-mumtahanah: 8-9).

(RENUNGAN) Bersyukurlah kita telah dilahirkan dari rahim seorang muslimah, anugerah itulah yang seharusnya kita sadari sejak dini, nikmat yang tak dimiliki oleh semua manusia. Wujud rasa syukur itu sebaiknya diaplikasikan dalam kehidupan kita selaku muslim dengan tidak menyekutukan Allah swt. dengan sesuatu apapun, dan berusaha menjalankan segala perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Menyikapi gema toleransi yang dikumandangkan akhir-akhir ini, sebagai seorang muslim yang sangat menjunjung al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia, dan Sunnah sebagai pengiringnya, haruslah bersikap positif dan fleksibel dalam menanggapinya. Mampu membedakan mana yang termasuk toleransi qur’ani, dan mana yang merupakan kebebasan semu namun berdalih al-Qur’an. Jangan biarkan kaum misionaris meluluh lantakkan pemahaman aqidah yang selama ini kita jaga.Toleransi yang diberikan Allah sudah lebih dari cukup. Patutkah kita meminta untuk diringankan kembali? Agama islam itu mudah, namun jangan dipermudah, jangan kambing hitamkan al-Qur’an untuk membenarkan sebuah kebebasan. Selain itu, untuk meminimalisir timbulnya penyimpangan, setiap ada berita yang datang, haruslah diteliti kebenarannya, agar kita tidak ditimpa kemudharatan akibat keterbatasan pengetahuan dan kecerobohan kita.

Demikianlah, semoga apa yang telah kita usahakan saat ini dan di masa akan datang senantiasa dalam Ridha-Nya. Amin.

Wabillahi at-Taufiq wa al-Hidayah.



[*] Mahasantri Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya asal Nanggroe Aceh Darussalam.

Minggu, 22 Februari 2009

Sekedar Renungan!!!

Keumawee ; Realita dan efek

Sumbangan Coretan: Zahrul Bawady

Mungkin istilah di atas masih sangat asing bagi anda. Tetapi bagi beberapa orang mungkin sangat familiar. Keumawee dalam peristilahan yang penulis pakai di sini tidaklah sesederhana makna keumawee dalam arti sebenarnya. Jika keumawee kita artikan memancing dengan menggunakan kail, maka keumawee yang penulis maksud juga berarti memancing. Tetapi bukan dengan kail dan bukan ikan hasil pancingannya.

Entah sejak kapan istilah keuwamee ini digunakan secara bebas terhadap perbuatan yang bukan sifatnya memancing ikan. Akan tetapi, kata keumawee sering pula digunakan untuk memancing lawan jenis di dalam dunia maya atau lebih dikenal dengan chating. Ada hal khusus yang menjadi standar perilaku chating disebut keumawee, yaitu terjadinya antar lawan jenis.

Keumawee untuk kemudian kita sebut chating semakin menggejala di dalam kehidupan modern. Terutama pasca lahirnya berbagai software simple yang memudahkan seseorang untuk menikmati fasilitas chating. Jika dulu membutuhkan seperangkat computer untuk bisa menikmatinya, maka kini bermodalkan HP yang sedikit canggih saja sudah bisa merasakan kenikmatan chating.

Tidak dapat kita pungkiri, bahwa kemajuan pengetahuan teknologi semakin membuat dunia ini sempit. Jarak yang memisahkan antar negara bahkan benua seolah tiada lagi. Kehidupan zaman modern ini sungguh layaknya kehidupan tanpa batas. Jarak yang dulunya hanya dapat ditempuh dalam bilangan bulan. Maka kini dalam hitungan jam dapat dicapai. Jika pada zaman dahulu bururng merpati kerap disimbolkan sebagai pembawa berita yang cepat, maka kini tidak ada artinya lagi.

Segala kemajuan itu mebuktikan bahwa semakin lama pengetahuan manusia semakin bertambah. Hal yang dulunya dianggap tabu bahkan telah menjadi fenomena yang nyata di dalam kehidupan ini. Arus globalisasi bahkan telah pula berhasil menyeret perubahan pola pikir manusia. Setidaknya kenyataan itu tidak berlebihan jika kita melihat kehidupan manusia sekarang ini.

Betapa mungkin, seorang laki-laki berjalan bersama seorang perempuan yang dulunya dianggap tabu kini malah menjadi ikon kemajuan. Benar rupanya kehidupan tanpa batas telah berhasil menggerogoti sendi luhur akal budi manusia.

Menilik permasalah yang penulis angkat. Di mana chating telah menjadi aktivitas rutin bagi sebagian orang. Di sini penulis tidak pernah menyangkal bahwa chating merupakan salah satu kemajuan yang sangat berguna dalam dunia telekomunikasi. Tetapi betapa memiriskan hati, ketika kemajuan itu dimanfaatkan untuk jalan yang menyimpang.

Khususnya bagi remaja, chating kerap digunakan sebagai ajang mencari teman. Masih wajar mungkin. Karena manusia memiliki sifat dasar hidup bersama. Tetapi betapa kemudian fasilitas ini dijadikan ajang mengumbar nafsu. Kata tidak senonoh dan asusila sering kali menjadi hiasan tersendiri dalam penggunaannya.

Hal tersebut juga membuktikan bahwa kita belum siap menerima tantangan globalisasi dalam pemanfaatan yang sebenarnya. Di dalam kenyataan yang sering kita hadapi, sangat banyak kita menemukan seorang pemuda mengungkapkan cinta kepada lawan jenisnya . demikian juga sebaliknya. Jadilah hubungan dunia maya ini menjadi ajang keumawee, Saling memancing. Entah berapa pemuda yang telah dipancing oleh si wanita demikian juga entah berapa banyak sudah wanita menjadi pemakan umpan rayuan gombal si pemuda. Syukur kalau memang ada yang berhasil mempertahankan hubungan tersebut ke gerbang rumah tangga. Orang yang dulunya hanya ditemukan di dunia maya kini dapat bersanding di atas pelaminan. Maka dalam hal ini keumawee (memancing) akan beralih menjadi meukawen (pernikahan). Tetapi realita yang saksikan, persentase kesuksesan keumawee menjadi meukawen sangatlah jarang untuk tidak mengatakan hampir tidak ada.

Selain itu, chating juga membuat seorang ayah harus memeras otak. Karena sifatnya yang mengasyikkan, ditambah apabila dia merasa berada di atas nirwana bersama pasangan yang mungkin belum dikenalnya membuat seseorang merasa betah untuk terus terusan menikmatinya. Tidak pandang waktu. Karena sang kekasih pun mungkin tak terbilang jumlah. Kelalaian yang dapat membuat seorang anak membantah perintah orang tua bahkan anjuran agama.

Pengaruh chating ke tengah masyarakat kita sudah sangat menggurita, sehingga ada yang beranggapan bahwa fenomena tersebut harus kita terima secara wajar sebagai simbol modernitas. Tetapi permasalahannya sekarang adalah bukan pada maju atau tidaknya teknologi yang dihasilkan oleh suatu perkembangan. Tetapi seberapa besar arah yang dibawa oleh kemajuan tersebut untuk kemaslahatan manusia. Akan tetapi perlu digaris bawahi, unsur negatif dalam suatu teknologi kadang kala tergantung kepada pemakainya. Maka kita tidak akan mengkambing hitamkan chating dalam bentuk dia sebagai suatu kemajuan yang harus kita apresiasikan. Akan tetapi, ulah manusia(khususnya remaja) yang harus menjadi titik fokus kita.

Ada beberapa efek dari keumawee dalam perspektif kita saat ini.

a. Melalaikan waktu.

Tak dapat kita kesampingkan, bahwa keumawe (chating) kerap membuang waktu dan melalaikan. Bayangkan, anda akan sanggup bergadang tengah malam atau menghabiskan waktu ber-jam-jam untuk lawan chating anda. Yang sangat disayangkan, belum tentu anda kenal dengan siapa sebenarnya anda melakukan hubungan dunia maya tersebut.

b. Membuyarkan konsentrasi

Betapa banyak kita melihat seorang yang baru saja selesai chating tiba tiba bertindak tidak karuan atau diluar dugaan. Adakala semakin baik atau sebaliknya. seorang bisa kehilangan fokus terhadap sesuatu yang menjadi tujuannya. Arah yang sebenarnya ingin dicapai menjadi buyar akibat pengaruh chating. Perubahan sikap yang tidak wajar juga menjadi penyakit tersendiri. Hal ini bukan hanya akan membingungkan pribadi sendiri tetapi serta merta menyeret orang di sekeliling kita.

Sering melamun, tersenyum sendiri, sibuk melukis wajah adinda di seberang sana membuat kita tidak peduli dengan lingkungan yang kita hadapi atau mendongkol terhadap suasana sekitar.

c. Menganggu hak yang harus diutamakan

Jika kita sedang dimabok chating melupakan kewajiban sudah menjadi hal biasa. Menunda hal utama sehingga akhirnya terlewatkan. Tidak sedikit orang rela menghabiskan waktu untuk duduk di depan monitor tetapi mereka tidak rela untuk sejenak duduk di atas sajadah.ironi memang.

Demi kesenagan sesaat kita rela melepaskan kewajiban yang harus kita tunaikan. Alangkah tidak berharganya hak Allah dan hak orang lain jika kita telah dirudung cinta dengan chating. Janji tidak lagi menjadi ingatan bahkan mentaati orang tua kita anggap perkara remeh

d. Mengumbar nafsu

Sudah lumrah kita akan merasa betah ngobrol degan lawan jenis berapapun lamanya. Tidak terkecuali melalui dunia maya. Kata kata vulgar dan tidak wajar sering terungkap bahkan di luar batas susila. Hubungan “cinta monyet” pun sering terbina melalui media ini. dari semula sebagai teman akhirnya menjadi deman. Hal ini mungkin dapat timbul karena seseorang tdak terikat dengan rasa malu. Tidak ada prasangka takut dikenal karena barangkali identitas yang ditampilkan hanya sebatas kedok belaka.

e. Menimbulkan benih perpecahan

Siapa yang dapat menjamin langgengnya hubungan dunia maya ini. setiap orang akan bebas melakukan trik trik jitu untuk mendepak seseorang dari kursi sang ratu atau pangeran. Cukup mengganti ID atau menghapusnya dari list maka hubungan akan terputus. Demikian mudahnya persahabatan diputus setalah merambah batasan pribadi. Akhirnya, hanya kata kotor kembali terucap.

Selain itu, chating juga sering menimbulkan benih perselisihan di antara kita. Bagaimana tidak, siapa dapat menduga bahwa orang yang dirindukan adalah satu. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa orang yang dicinta tidaklah sama.

f. Menimbulkan penyesalan

Ranting tak didapat akar pun tidak. Pepatah terbalik ini kadang kala tepat untuk menggambarkan nasib chat mania. Manipulasi foto, identitas sampa perubahan dari perempuan menjadi laki-laki adalah hal yang biasa jika anda memasuki dunia ini. sangat disayangkan, jika rasa cinta telah dipupuk, rupanya salah alamat. Pangeran yang di idam-idamkan ternyata tak lebih daripada kacung yang penuh derita. Amboi….sangat disayangkan.

Mungkin masih banyak lagi efek negatif lain yang merupakan pengaruh dari chating. Adapun efek yang telah penulis paparkan adalah hal yang umum dan dapat kita liat gejalanya sangat menyolok di sekeliling kita. Adapun pada realitanya, sangat banyak selain efek di atas yang menjadi pamor chating meningkta di kalangan pemburu nafsu. Terlepas dari itu semua kita tidak perlu khawatir, karena bagi pencinta kebenaran, masih tersedia berjuta manfaat dari chating yang dapat kita petik.

Kita hanya tinggal memilih, memupuk dosa atau menjauhinya. Keduanya dapat menjadi pilihan kita. Tergantung kemana pikiran kita condong. Adakah sanubari yang menjadi komandan tubuh kita atau nafsu telah menjadi panglimanya.

Senin, 09 Februari 2009

Sanitasi Lingkungan


Sanitasi Bukan Hal Sepele!!!

Pernahkah terbayangkan bahwa banjir yang melanda sebagian besar daerah di Indonesia adalah karena ulah manusia?

Patutkah kita menyalahkan alam dengan berbagai kerusakan yang sering dan sengaja kita lakukan?

Keengganan manusia untuk berkorban demi alam adalah hal yang tak bisa dipungkiri, pantas jika alam marah dan berharap kita sadar dengan semua kesalahan yang terlanjur terjadi.

Mari mencintai alam dan lingkungan sekitar, karena mereka jua makhluk hidup. Punya rasa, walaupun tidak sepeka manusia. Keep our environment!!!